Kamis, 23 Agustus 2012

sejarah singkat bioskop di tanah air




Bioskop Metropole
adalah sebuah gedung bioskop bersejarah yang dibangun pada tahun 1932 dengan nama Bioscoop Metropool, sesuai dengan ejaan bahasa Belanda pada waktu itu.
Bioskop yang terletak di sudut Jalan Pegangsaan dan Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat dan berkapasitas 1.700 penonton ini adalah salah satu bioskop terbesar dan tertua di Jakarta yang masih bertahan hingga sekarang.
Pada th.1951, gedung dan lahan seluas 11.623m² ini dimiliki oleh PT Bioskop Metropole.

Pada th.1960, Presiden Soekarno memerintahkan penggantian semua nama yang berbau asing, karena itu Bioskop Metropool pun berganti nama menjadi Bioskop Megaria.
Pada 1989 gedung bioskop ini disewakan oleh PT Bioskop Metropole kepada jaringan 21 Cineplex, yang mengubah rancangan dalam gedung itu sehingga menjadi 6 bioskop mini dengan kapasitas tempat duduk sektiar 50 kursi setiap ruangannya.
Namanya pun berubah menjadi Megaria 21.

Warga Jakarta yang senang ke bioskop di tahun 1950-an sampai awal 1980-an, pasti mengenal nama Bioskop Megaria. Gedung tempat pementasan film yang terletak di perempatan antara Jalan Cikini Raya, Jalan Diponegoro, dan Jalan Pegangsaan Timur,
Jakarta Pusat, memang merupakan salah satu bioskop yang telah berusia cukup tua di Jakarta.

Bioskop yang pernah juga dinamakan Metropole itu bahkan sempat menjadi salah satu bioskop terbaik di tahun 1960-an sampai 1970-an. 
Pencinta film berbondong-bondong antre untuk membeli tiket dan menonton film di Bioskop Megaria. Namun cerita manis itu, kini tinggal kenangan. 
Saat ini justru terdengar,  gedung dan tanah bioskop itu sedang ditawarkan untuk dijual.

sejarah singkat bioskop
1900
Munculnya bioskop pertama di Indonesia boleh dibilang nggak terlalu terpaut jauh dengan bioskop permanen di Vitascope Hall, Buffalo, New York.  Kalau di Amrik bioskop permanen pertama lahir pada Oktober 1896, di Indonesia pada tahun 5 Desember1900 film mulai masuk ke Hindia Belanda. Bukan gedung bioskop, tetapi di rumah seorang Belanda di Kebon Jahe. Penyelnggara pertunjukan De Nederlandsch Bioscope Maatschappij. Harga tiket kelas I, 2 gulden; kelas II, 1 gulden dan kelas III, 50 sen. Tempat ini mengubah nama menjadi The Roijal Bioscope pada tanggal 28 maret 1903.
1901
Pertunjukan “gambar idoep” alias film mulai diperlihatkan kepada khalayak lebih luas, antara lain di Deca Park (Gambir), Lapangan Tanah Abang, Lapangan Mangga Besar, Lapangan Stasiun Kota. Semua di Batavia. Konsep “bioskop” sangat sederhana, hanya ditutupi dinding bilik tanpa atap. Mungkin seperti layar tancep sekarang.
1903
Beberapa gedung bioskop permanen berdiri di Batavia. Hadirlah bioskop bernama Elite, Deca Park, Capitol, Rialto (satu di kawasan Senen dan satu lagi di Tanah Abang). Rata-rata bangunan di berbagai kota di Indonesia pada masa itu dilandaskan pada konsep art noveau  (seni baru) yang juga kerap disebut seni dekoratif atau art deco . Inilah aliran seni yang berkembang  pada tahun 1890-1905 di Eropa yang melingkupi berbagai bentuk seni murni dan seni terapan termasuk karya arsitektur untuk bioskop.
1926
Tanggal 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927, Loetoeng Ka saroeng , film lokal pertama diputar di berbagai bioskop di Bandung, antara lain di Elita dan Oriental Bioscoop.  Film yang diproduksi NV Java Film Company  itu juga diputar di Bioskop Majestic,  di kawasan elit Jalan Braga,  Bandung.  Bentuk bangunan Majestic digarap arsitek ternama Ir. Wolff Schoemaker. Majestic selesai dibangun pada tahun 1925.
1934
Tanggal  13 September dibentuk Persatuan Bioskop Hindia Belanda (Nederlandsch Indiesche Bioscoopbond) di Jakarta.
1936
Menurut Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) HM Johan Tjasmadi - ia baru meluncurkan buku 100 Tahun Bioskop di Indonesia  - terdapat 225  bioskop yang ada di Hindia Belanda.  Bioskop tersebut antara lain hadir  di Bandung (9 bioskop), Jakarta (13 bioskop), Surabaya (14 bioskop)  dan Yogyakarta (6 bioskop)..
1942-1945
Sebelum Jepang masuk ada sekitar 300 gedung bioskop di Indonesia. Jumlah itu berkurang tinggal 52 gedung yang tersebar di Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Malang. Yang pertama tersingkir adalah bioskop menengah-bawah. Banyak gedung bioskop alihfungsi menjadi gudang penyimpanan bahan pokok. Film pada masa itu dianggap tidak menarik karena melulu berisi propaganda Jepang. Harga tiketnya pun terbilang mahal.
1945
Pascakemerdekaan, muncul tiga lembaga perfilman: Perusahaan Produksi Film, Perusahaan Peredaran Film, dan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia).
1951
Bioskop Metropole resmi beroperasi. Pemutaran film Annie Get Your Gun  menandai mulai beroperasinya  Metropole di kawasan Menteng, Jakarta. Rahmi Rachim Hatta - istri Wakil Presiden Mohammad Hatta,  Haji Agus Salim dan Sultan Hamengkubuwono IX meresmikan bioskop berkapasitas 1.500 tempat duduk. Bioskop bergaya art deco itu dirancang oleh Liauw Goan Seng. Dalam perjalanannya Metropole bolak-balik ganti nama. Warga Jakarta sempat mengenalnya dengan sebutan bioskop Megaria. 
1955
Festival Film Indonesia (FFI) pertama, 30 Maret – 5 April 1955. Lewat Djam Malam , dengan sutradara Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik. FFI berlangsung di Metropole dan Cathay. Di bioskop itu ula apda 10 April 1955 lahir PPBSI (Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia).
1960-an
Gara-gara politik sempat terjadi pemboikotan film-film Amerika. Beberapa gedung bioskop sempat dibakar. Film dari Rusia, India, Melayu, Filipina mulai banyak beredar.Jika pada tahun 1960 jumlah bioskop di Indonesia sudah mencapai 890, pada tahun menjelang peristiwa G30S/Pki tinggal 350 saja.
Pada awal Orde Baru 1966 film Amerika kembali bisa ditonton masyarakat umum.
1970-an
PPBSI dan beberapa organisasi sejenis sepakat melebur menjadi GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) pada Desember 1970. Di sisi lain akibat dibukanya kesempatan untuk mengimpor film jumlah bioskop pada tahun 1969-1970 di Indonesia tercatat 653 bioskop. Jumlah itu meningkat pada tahun 1973 menjadi 1.081.
1987
Mulai diperkenalkan bioskop sinepleks yang dikenal sebagai “21” yang dikelola oleh perusahaan Subentra milik pengusaha Sudwikatmono. Kartika Chandra Theater di Jalan Jenderal Gatot Subroto adalah salah satu yang pertama memperkenalkan konsep satu gedung empat ruang bioskop. Penjaga loket dan pintu bioskop terdiri dari cewek-cewek cantik dengan baju batik dan rok panjang.
Jumlah sinepleks makin banyak hingga ke kota lain.  Sinepleks dibangun di pusat perbelanjaan, kompleks pertokoan atau di dalam mal yang notabene menjadi tempat nongkrong anak muda.
1990-an
Konsep sinepleks membuat jumlah ruang pemutaran bioskop bertambah. Tahun ini ada 3.048 layar. Dengan fasilitas yang nyaman, orang lebih tertarik nonton di sinepleks. Bioskop non-21 mulai berguguran, kalah bersaing. Sementara film nasional yang biasanya melayani kalangan itu seperti tidak punya tempat. Jumlah produksi film nasional pun merosot. Di sisi lain,  bioskop di Indonesia hampir seluruhnya dikuasai oleh jaringan sinepleks 21.
2000-an
Kelompok sinepleks 21 meluncurkan bioskop dengan konsep satu kelas di atas 21 biasa:  XXI dan The Premiere.  Tahun 2007 Blitzmegaplex hadir pertamakali di Paris Van Java, Bandung.  Selanjutnya di Grand Indonesia Jakarta. Konsepnya sama, multilayar, namun dengan teknologi audio dan visual yang lebih canggih. Juga pelayanan yang lebih memudahkan serta menyatu dengan sarana lain di sekitar bioskop, seperti restoran.
2011
Tanggal 18 Februari. Berita bahwa film impor sejak 18 Februari tak akan beredar lagi di bioskop di Indonesia merebak. Media massa melansir berita: Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (Ikapifi) tidak akan mengimpor film-film dari luar Indonesia. Begitu juga dengan Motion Picture Association of America (MPAA) menolak mendistribusikan film-film produksi Hollywood.  Aksi ituitu dilakukan sebagai protes atas kebijakan Direktorat Jenderal Bea Cukai yang menerapkan bea masuk atas hak distribusi film impor. Bea masuk itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim dalam praktek bisnis film di seluruh dunia.. Namun setelah sekitar tiga bulan bioskop hanya diisi film lokal dan film asing dan sepi peminat, ada harapan publik film Indonesia bisa kembali menonton film Hollywood.  Pada 18 Mei Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Agung Kuswandono, di Kantor Kementerian Keuangan mengatakan, “Tunggakan salah importir besar yang sudah dibayarkan Rp 9 miliar, jadi mereka boleh impor film lagi, tapi harus sesuai dengan aturan yang ada.” Tinggal dua importir besar lagi yang belum melunasi tunggakan karena masih dalam proses banding.

1 komentar: