Nama Jatinangor sebagai nama kecamatan baru dipakai sejak tahun 2000-an. Sebelumnya, kecamatan ini bernama Cikeruh. Nama Jatinangor sendiri adalah nama blok perkebunan di kaki Gunung Manglayang yang kemudian dijadikan kompleks kampus sejumlah perguruan tinggi. Kawasan yang dahulu terkenal berkat kekerasan yang dipertontonkan oleh para pelajar Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN, dulu STPDN) di layar kaca. Kini telah mejadi sebuah Small Town, berbeda dengan Jatinangor di masa lalu
Jembatan di Cikuda – yang sering disebut sebagai Jembatan Cincin oleh masyarakat sekitar – pada mulanya dibangun sebagai penunjang lancarnya kegiatan perkebunan karet. Jembatan Cincin dibangun oleh perusahaan kereta api Belanda yang bernama Staat Spoorwagen Verenidge Spoorwegbedrijf pada tahun 1918. Jembatan ini berguna untuk membawa hasil perkebunan; dan pada masanya, jembatan ini menjadi salah satu roda penggerak perkebunan karet terbesar di Jawa Barat.
Wajah Jatinagor yang kita lihat kini mungkin akan sangat berbeda jika melihatnya 20 atau 30 tahun ke belakang. Sebuah wajah yang memiliki tipikal pedesaan Jawa Barat yang penuh dengan hamparan perkebunan dan persawahan yang asri. Akan tetapi, wajah Jatinangor kini adalah wajah yang sedang mengalami perubahan di berbagai lini kehidupan, terutama pada masyarakatnya. Masyarakat yang dahulunya sebagian besar petani kini sebagian besar sudah beralih profesi menjadi tukang ojek, tukang cuci, penjaga rumah (kostan) dan sebaginnya
Masyarakat Jatinangor seperti halnya masyarakat Sumedang ataupun Jawa Barat pada umumnya, memiliki akar yang kuat sebagai masyarakat agraris. Hal itu bisa dilihat dari sisi historis dari kawasan ini. Jatinangor sendiri merupakan nama dari sebuah blok perkebunan karet yang terbentang dari kampus IPDN hingga Gunung Manglayang. Perkebunan karet ini dimiliki oleh seorang berkembangsaan Jerman bernama Baron Blad yang menanamkan modal bersama perusahaan swasta milik Belanda dan pada tahun 1841 mendirikan perkebunan karet bernama Cultuur Ondernemingen van Maatschapij Baud, yang luas tanahnya mencapai 962 hektar.
Dalam perjalanan memasuki kampus Universitas Padjadjaran (UNPAD) Jatinangor, mahasiswa yang menggunakan kendaraan pribadi melewati jalan menanjak yang berawal dari pangkalan bis DAMRI hingga pintu masuk UNPAD sebelah Utara. Di sisi kiri jalan, tepatnya dalam kawasan milik UNWIM, terdapat sebuah menara berwarna putih bergaya neo gothic. Pada menara tua dan tidak terurus itu, terdapat tumbuhan liar yang memenuhi. Berbagai coretan pun mengotori tembok putihnya.
Menara Loji
Menara apakah itu? Kebanyakan orang yang melewati tidak mengetahui apa pun mengenai menara ini, bahkan menyadari keberadaannya pun tidak.
Menara jam – yang sering disebut Menara Loji oleh masyarakat sekitar – itu dibangun sekira tahun 1800-an. Menara tersebut pada mulanya berfungsi sebagai sirene yang berbunyi pada waktu-waktu tertentu sebagai penanda kegiatan yang berlangsung di perkebunan karet milik Baron Baud. Bangunan bergaya neo-gothic ini dulunya berbunyi tiga kali dalam sehari. Pertama, pukul 05.00 sebagai penanda untuk mulai menyadap karet; pukul 10.00 sebagai penanda untuk mengumpulkan mangkok-mangkok getah karet; dan terakhir pukul 14.00 sebagai penanda berakhirnya kegiatan produksi karet.
Pada tahun 1980-an lonceng Menara Loji dicuri dan hingga kini kasusnya masih belum jelas; baik mengenai pencurinya, apa motifnya, dan bagaimana tindak lanjut dari pihak berwenang. Bahkan Pemerintah Daerah (Pemda) Sumedang – selaku pihak yang seharusnya mengawasi pemeliharaan cagar budaya – pun tidak tahu-menahu mengenai kelanjutan kisah pencurian itu. Saat ini Menara Loji nampak tidak terurus. Perawatan terakhir menara ini berupa pengecatan ulang yang dilakukan oleh pihak Rumah Tangga UNWIM pada tahun 2000.

Perubahan banyak datang ketika kawasan ini dijadikan kawasan pendidikan oleh pemerintah Jawa Barat. UNPAD, IPDN, Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN), Universitas Winaya Mukti (UNWIM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah kampus-kampus yang mendiami kawasan pendidikan Jatinangor.
Bersamaan dengan dibangunnya kampus-kampus tersebut, Jatinangor juga mengalami perkembangan fisik yang pesat. Seperti nasib lahan-lahan pertanian di Pulau Jawa umumnya, lahan pertanian Jatinangor juga beralih fungsi menjadi rumah-rumah kost, pertokoan, ataupun pusat perbelajaan. Akan tetapi, yang paling berpengaruh adalah arus modernisasi kaum urban yang dibawa para pendatang yang kebanyakan adalah mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar